Kamis, 04 Agustus 2011

Kesenian Massa

A.BILA SENI TRADISI MENJADI SENI MASSA

Teknologi komunikasi massa telah menyeret konvensi (semacam pakem) ke dalam elemen-elemen seni tradisi. Itulah sebabnya seni tradisi semakin mengalami perubahan bentuk, orientasi, bahkan pola ekspansinya.
Bahwa penonton memilih datang kepertunjukan atau menonton televisi, itu adalah perubahan sosial yang memang pengendapan efisien. Masyarakat modern nyaris tidak punya waktu untuk tidur samalam suntuk menonton pertunjukan wayang kulit, karena pola hidup modern cenderung mengukur waktu dengan uang. Dengan demikian pertunjukan seni tradisi lewat televisi merupakan langkah maju ketimbang misalnya tidak sama sekali. Bagaimanapun, televisi telah memberi sosialisasi kesejahteraan.
Memang transformasi seni tradisi dari panggung ke layar televisi membutuhkan waktu yang panjang untuk bisa diterima atau memperoleh pengakuan dari masyarakat. Suatu ketika, saat masyarakat tidak menentukan fungsi-fungsi seni panggung pada televisi, pengakuan itu akan datangdengan sendirinya. Fungsi-fungsi itu memang tidak mungkin sama, karena pengadaan karakteristik medium yang kontraks. Tetapi, secara minimal, ada fungsi sosial yang bisa dipetik dari seni tradisi melalui televisi itu.


B.KERUGIAN

Satu-satunya kerugian terbesar dari transpormasi itu adalah hilangnya fungsi integratif. Ketika kesenian tradisi masih memiliki wibawa, masyarakat yang terlambat dalam “ritualnya” merasa dirinya sebagai bagian dari komunitas budaya. Dengan demikian, ketertiban itu bukan saja menunjukkan adanya pengakun atas sejumlah nilai yang menjadi pesan sosial, melainkan jug secara sosiologis menunjukkan kentalnyakekerabatan: rasa bangsa, nasib, sepenanggungan. Tetapi ketika kewibawaan itu hilang dan melebur kedalam televisi fungsi kekerabatan tersebut retak. Seandainya pun menunjukkan seni tradisi masih mampu mengundang banyak penonton, fungsinya barang kali tidak lebih daripada sebagai pelepas lelah, pembunuh rasa sepi, atau sekedar liburan belaka.
Walaupun demikian, seni tradisi yang diekspresikan lewat medium televisi itu masih memungkinkan berlakunya fungsi pembelajaran. Masih besar kemungkinan terjadi proses intrnalisasi nilai, yakni penyerapan pesan-pesan menjadi sistem personal. Selanjutnya, melalui interaksi dalam keluarga dan masyarakat, nilai personal itu akan menjadi nilai-nilai sosial. Lewat mekanisme inilah seni tradisi yang tertranspofmasikan dalam seni mass masih mempertahankan ekstensi dirinya. Bukanlah esensi sebuah kesenian adalah proses transformasi nilai-nilai sosial, sehingga perubahan bentuk “ritual” hanyalah konsekuensi logis dari tuntunan zaman? Kalau begitu, modifikasi ludruk, ketoprak, wayang, janger, dan sejenisnya tidak perlu cepat-cepat dicerca. Masalahnya adalah seberapa besar kreativutas masyarakat dalam memodifikasi pesan-pesan aktual mampu memberi imbalan terhadap bentuk penyampaiannya? Sehingga, kesenian tersebut dari bentuk estetikanya tetap profesional.
Adanya kreatifitas semacam ludruk kampus, sayembara ketoprak, atau wayang kulit di televisi masih harus dipandang sebagai pencarian bentuk, yang pengakuannya tetap membutuhkan waktu.


C. MENYONGSONG ERA PERTELEVISIAN

Hampir pasri Indonesia tidak akan mampu membendung perkembangan teknologi komunikasi yang begitu pesat. Perkembangan itu pada gilirannya akan membewa perubahan pada konsepsi komunikasi itu sendiri.
Kemajuan dunia elektronika yang dimamfaatkan untukmelakukan kegiatan komunikasi, misalnya, telah menimbulkan rasa was-was terhadap bangsa indonesia. Betapa tidak, perbuatan gelombang elektronika di angkasa telah menyebabkan suatu bangsa tidak mampu menangkap penetrasi informasi yang berasal dari luar negri. Di satu pihak, teknologi komunikasi tekah menyebabkan jarak geografis  semakin pendek, tetapi dilain pihak “keberhasilan” informasi tidak dapat disembunyikan lagi. Antene parabola yang dengan mudah dapat diperoleh telah menyebabkan masyarakat mampu menikmati langsung siaran televisi luar negri.
Teknologi, demikian Pacey mengingatkan kita melalui bukunya yang berjudul The Culture Of Technology, pada dasarnya tidak selau dapat dimamfaatkan oleh masyarakat secara maksimal. Jika cara menggunakannya sudah menyimpang karena karena tidak mempunyai persiapan kognitif dan emosional, teknologi ibarat racun dalam secangkir anggur. Karena itu Pacey mengingatkan lagi, bahwa teknologi yang berhasil adalah yang tumbuh dari budaya yang adaatau dapat mengantisipasi arah perkembangan budaya serta kondisi yang alan datang.
Munculnya televisi swasta bukan saja dapat memberi warna kompotitif dalam era pertelevisian di dalam negri, sehingga TVRI dipaksa bersaing dalam memperoleh pemirsanya, melainkan juga dapat memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berkiprah dalam bidang pertelevisian.
Hasilnya memang belum mengembirakan. Baik kwalitas maupun kwantitasnyabelum seperti yang diharapkan. Walau demikian, kebijaksanaa, “deregulasi pertelevisian” telah membangkitkan kesadaran masyarakat akan profesi baru dibidang production house.
Sangatlah mustahil mempersiapkn orang agar mampu melakukan kegiatan produksi media hanya dalam waktu satu sampai tiga hari saja. Aspek-aspek teknis dari rangkaian produksi media mungkin masih bisa dikuasai pada tingkat “teoretis” –nya. Akan tetapi, untuk mencapai sasaran profesional masih dibutuhkan landasan pemahaman teoritis yang lebih luas dan mendalam. Oleh sebab itu, kebutuhanpaling mendesak untuk menumbuhkan production house yang sehat dan dipenuhi melalui program pendidikan yang terencana secara sistematis dan terpola.


D. SYARAT BAGI PRODUCTION

Usaha production house, menurut Ishadi Sk, Msc dan JB. Wahyudi (1991), tidak bisa lepas dari penguasaan informasi, dan time base corrector (TBC), video digital optic (membuat efek khusus), pin box, computer graphic.
Dengan sarana dan prasarana diatas, informasi dapat diolah menjadi invormasi audio visual bergerak. Namun demukian, seperti diakui kuga oleh dua praktis tersebut diatas, segala saranan itu hanyalah sebagai alat untuk mengubah ide/ gagasan atau peristiwa kedalam informasi audio visio bergerak. Yang wajar adalah bila invormasi di produksi dengan kemampuan alat, yang kemudian di kombinasikan dengan kreatifitas manusia pengelolannya. Dengan demikian, hasil produksinya akan memiliki nilai lebih.


E. FUNGSI TELEVISI

Dra. Endang Suwarno mengklasifikasikan pertelevisian menjadi 4:
• Televisi umum
• Televisi pendidikan dan pengajaran
• Televisi komersial
• Televisi seremonial

Formatnya: TVRI sebagai televisi umum, TPI sebagai televisi pendidikan serta pengajaran, SCTV dan RCTI seta ANTV sebagai televisi komersial. Sementara itu, kerangka historis pertelevisian di Indonesia ditandai oleh dominasi televisi pemerintah (TVRI) dijuluki juga sebagai sebagai televisi seremonial, mungkin karena terlalu banyak menggugah tayangan gunting pita. Masyarakat mengalami kejenuhan  informasi, sehingga kredibilitas TVRI di mata masyarakat menurun. Di sela-sela materi siaran penerangan ada aspek hiburan yang menjadi kompensasi bagi kejnuhan itu. Acara-acara seperti berita nasional, berita daerah, dunia dalam berita dan acara hiburannya.
Karena itu ada kelakar dari Achudiyat, budayawan asak surabaya, dalam sebuah workshop penulisan televisi menjawab “Mbok iurannya mendapat potongan 20% karena kami menonton televisi satelah kami menonton pukul sembilan malam.
Munculnya sejumlah televisi swasta yang banyak membawa misi hiburan, karena profil oriented yang mendorong penyajian materi yang aktraktif, sesungguhnya menimbulkan kekhawatiran juga bahwa bisa jadi dunia pertelevisian kita hanya akan mengabdi kepada fungsi hiburan saja.


F. MENGOBATI “LUKA” PENONTON FILM INDONESIA

Secara objektif, film itu sebetulnya punya cukup daya saing dengan film impor, termasuk dalam aspek teknis visualisasinya. Tekhnik adegan maupun efek animasinya cukup sepadam dengan film laga hongkong manapun . pesan yang ingin disampaikan dalam film saur sepuh itu juga cukup baik, yakni tentang kenesaran jiwa. Unsur seksualitas dinilai sebagai keberatan disini. Biasanya film kolosal yang mengandung unsur dongeng disukai anak-anak. Sayangnya, kenyataan itu sering kali di abaikan sehingga terlalu banyak adegan seks yang dimasukkan sebagai mosaik, daya tarik pasar, justru membuatnya tampil tidak utuh.
Sekalipun tanpa data statistik, dapat disimpulkan bahwa perliman Indonesia memang lesu. Banyak bioskop daerag gulung tikar. Mereka enggan memutar film nasionan karena sudah pasti merugi. Maka, tidaklah mengherankan bahwa banyak bintang film serta pekerja film lainnya ramai-ramai beralih membuat sinetron. Untuk sementara dapat diambil kesimpulan bahwa benang kusut yang melanda dunia perfilman nasional berawal dari unsur eksternal dan historis perfilman kita.
Unsur eksternal yangdimaksud adalah masalah politik kesenian dalam pembinaan apresiasi perfilman bagi masyarakat. Apresiasi masyarakat terhadap film telah tercabik-cabik oleh film impor. Memang sangat terasa, bahwa kehadiran produk luar itu memantapkan diri dalam bentuk citra dan selera yang “luar negeri minded”. Tanpa merasa masyarakat terkondisi untuk keranjingan akan segala sesuatu yang berasal dari luar.
Kondisi yang menyesatkan ini masih ditambah dengan kenyataan historis yang tidak enak untuk dikenang. Selama kurun wakru anrata 1970-an dan 1980-an, ketika perfilman Indonesia sedang membentuk tradisi atau jati dirinya, jusrtu dalam kurun waktu itulah muncul banyak film asal jadi yang di produksi secara massal. Seolah-olah itu identitas perfilman Indonesia yang tidak bisa lagi berubah. Dengan demikian, citra film nasional dimata masyarakat Indonesia sendiri menjadi rusak. Kesan atau image semacam ini seperti telah mendarah daging dalam nafas masyarakat sehingga menjadi pandangan umum yang sulit diubah lagi. Dengan pesta seperti ini dapatlah dimaklumi persepsi masyarakat yang sumbang terhadap film Indonesia, bahkan yang berkwalitas sekalipun. Maka, tidak heran pula bahwa gema festival film Indonesia (FFI) tidak bergaing keras seperti perbuatan Oscar di Amerika Serikat yang diberitakan besar-besaran.



G. DAMPAK YANG MENCEMASKAN DARI IKLAN TELEVISI

Pernah mendengar berita bahwa seseorang yang bernama X menghamili anak kandungnya sendiri. Konon, menurut pengakuan tertuduh, perbuatan itu ia lakukan karena terangsang oleh tayangan iklan di televisi.
Masalah pengaruh media masa terhadap perilaku manusia yang sejak lama menjadi perdebatan ahli komunikasi. Para penganut teori peluru sangat yakin bahwa efek media massa besifat langsung, seketika, dan menentukan. Bahkan diasumsikan bahwa audiens sangat pasif dalam menerima informasi, sehingga informasi niscaya akan membentuk sikap, pola pikir, dan perilaku masyarakat.


1. Kecemasan Informasi Akibat Iklan Televis

Jika kita memperhatikan visualisasi pesan iklan yang ditayangkan televisi Indonesia, tampak sekali kecendrungan sensualnya. Visualisasi pesan iklan cenderung memamfaatkan daya tarik seksual. Antara produk yang ditawarkan dan fisualisasinya sering sulit dicari relevansinya.
Format iklan di Indonesia tanpaknya banyak belajar dari sukses iklan di negara maju itu, tanpa mempertimbangkan dimensi perbedaan norma budaya dan kemampuan selektif untuk menagkap informasi masyarakat setempat.
Iklan yang sensual memang efektif, mampu memberisugesti kenyamana, keamana, dan kebebasan. Pesan hedonis dalam visualisasi iklan telah mematikan unsur rasional dalam pengambilan sikap/ keputusan. Hal itu ditandai dengan pembelian barang konsumsi tanpa mempertimbangkan efektifitas dan evisiannya. Pengaruh iklan berhasil menggeser perilaku konsumen dari pemenuhan kebutuhan menjadi pembelian simbol-simbol sosial, seperti prestise dan identifikasi tingkat sosial ekonomi.


2. Norma Sosial

Benturan spikologis akibat iklan dengan visualisasi sensual kurang dirasakan pada masyarakat Barat, karena norma sosial mereka memang bisa menerimanya dan revelan. Dengan demikian, unsur-unsur hedonistik bukan merupakan unsur kontradiktif yang mengancam keseimbangannorma sosial. Tingkat pendidikan dan kemajuan sain-teknologi merekapun merupakan modal untuk menghadapi informasi secara lebih rasional. Sehingga informasi tidak diterima begitu saja.
Keyakinan itu tentu lain dengan kenyatan di Indonesia. Tanpa menggunakan perangkat teori, kita bisa mengasumsikan bahwa tayangan sensual belum bisa diterima oleh norma sosial. Keberatan masyarakat terhadap film yang menyungguhkan adegan seksual dan senacamnya agaknya menyesatkan dan menggelisahkan masyarakat.
Memang segi atraktifnya, unsur glamour, dan sensualnya sangat tinggi. Tetapi perlu dicatat bahwa informasi iklan tidak berhenti sampai pada ketertarikan saja. Informasi iklan adalah tahapan yang mulai dari sosialisasi nilai hingga pembujukan untuk membeli merk dagang. Dengan demikian, informasiiklan dipandang berhasil bila mampu mengubah kebiasaan masyarakat dan meperbiasakankebiasaan tersebut. Sebagai contoh, produk minumai air putih dan teh dalam botol, kemasan kotak, maupun kemasan plastik berbentuk gelas yang mampu menggeser kebiasaan minum dengan gelas dan tatakan. Pesan-pesannya sederhana saja: praktis, prestise, dan sehat.

Proses metamorfosis dari legenda menjadi human interest itulah yang tidak dimiliki oleh lakon-lakon Indonesia ketika mencoba mengangkat cerita-cerita yang sudah dikenal masyarakat. Bahkan, Srimulat memanipulasi cerita drakula hanya sebagai daya tarik. Drakula tidak menemukan substansi filosofis sedikitpun. Pada Srimulatlebih mementingkan unsur jenakanya daripada ceritanya.tidak peduli cerita apapun, yang penting penonton tertawa dan senang. Itulah jenis tertawa Srimulat menjadi kurang penting. Bila dibandingkan dengan jenis tetawanya putu Wijaya, baik dalam novel-novelnya maupun filmnya, trtawa Srimulat menjadi sangat tidak penring. Dengan tertawa, Putu Wijaya masih sempat menikamkan kritik sosial terhadap masyarakat. Di tengah-tengah tema “orang kecil”, putu masih bisa berbicara sebagaimana pongahnya kekuasaan, yang bisa membuat orang jadi “gila”.

Pada awal 1970-an Srimulat sudah memilih gaya banyolan dan komedi slapstik model Charkie Caplin yang mengandalkan mimik dan gestur. Dan model komedi itu berorientasi dapa substansi masalah “orang yang kecil. Pada awalnya Srimulat memang brhasil. Mereka meraih sukses besar lewat film, televisi, maupun pentas.
Teknil lawakan gaya Srimulat mulai jenuh. Ketika film komedi dan lawak di televisi ramai-ramai bersrimulatan, srimulat mulai kehilangan pamor. Apalagi Srimulat sangat lamban melakukan trobosan inovatif penggalian tematik, sehingga lwaknya menjadi monoton. Wajah-wajag baru seperti Warkop, Lenong Rumpi, Bagito, dan lain-lain tampak lebih mampu beradaptasi dengan realitas aktual yang berkembang dalam nasyarakat.
Memang kita juga melihat bahwa Srimulat berusaha menyesuaikan diridebgan realitas sosial baru. Tetapi tidak dilakukan dengan sangat hati-hati, sehingga justru menampilkan lawakan yang sangat dipaksakan. Contohnya adalah peran seorang direktur berdasi yang dijalankan tanpa sama sekali menampakkan profil seorang direktur. Kejanggalai ini barang kali merupakan salah satu bentuk konsekuensi seni peran yang tidak memiliki standar acting. Kalau kita perhatikan lebih lanjut, bukan hanya itu kelemahan Srimulat. Terlalu mengandalkan improvisasi di atas panggung sering kali menghasilkan dialog yang tidak berkesinambungan, tidak kompak, sehingga muncul sosok dominan ini tampil vulgar, sehingga ia gagal mencuatkan efek humornya.
Dalam penampilannya, kelompok-kelompok sepeti srimulat sebenarnya bisa mengandung tokoh masyarakat untuk ikut tampil bersama, menyampaikan berbagai masalah kemasyarakatan yang perlu diketahui masyarakat luas.

Kelak, sinetron akan menjadi ujung tombak budaya massa. Seperti masa yang telah terjadi di negara maju, siaran televisi menyajikan lahan yang subur bagi pemasaran industri film. Televisi menjadi gerbang pertama bagi pembentukan citra keaktoran/ keaktrisan para bintang layar lebar. Hal itu dapat dimaklumi, karena jangkauan media televisi kepada masa lebih luas. Bahkan mampu menembus yang tingkat mobilitasnya rendah sekalipun.
Jika diklasifikasikan lebih lanjut, sinetron merupakan bagian khusus dari genre fiksi, yang mempunyai ciri khusus: adanya alur cerita, penyampaian pesan. Kalau begitu adanya, sinetron Indonesia sebenarnya menggapai saingan dari genre sejenis, terutama fiksi impor. Mereka ada lebih dulu. Bahkan sejak tradisi pertelevisian Indonesia dirintis pada pertengahan 1970-an, masyarakat Indonesia sudah menemani fiksi-siksi impor itu. Menurut penelitian, jenis fiksi impor itu sempat menjadi agenda setting penonton televisi Indonesia. Banyak masyarakat menjadi kecanduan akan kisah-kisah fiksi seperti The Six Million Dollar Man, The Wild-Wild West dan sebagainya. Semakin hari, fiksi-fiksi mereka semakin kuat. Jika fiksi mereka berkwalitas, tentunya karena tradisi sinetron berkembang seiring dengan dukungan teknologi, budaya seni peran, dan modal kapital.

Keunggulan komperatif bagi sinetron minimal diukur dari tiga hal:
a. Keterampilan memilih teknik pengambilan adegan, yang berarti juga keterampilan menggunakan kamera. Singkatnya kita sebut teknik simatografi.
b. Kemampuan memamfaatkan teknologi film, seperti teknik animasi, visual effect, sound effect, dan sejenisnya.
c. Kemampuan bercerita lewat bagasa fisual.

Faktor pertama dan kedua akan berkembang seiring dengan semakin maraknya lembaga-lembaga pendidikan program sinematografi dan seni peran. Faktor ketiga barang kali sangat berat dihadapi, karena ada semacam mitos bahwa seni massa film Indonesia merupakan metamorfosis dari seni sastra, khususnya tradisi sastra lisan.
Satu hal lagi yang pantas dicatat adalah bahwa sinetron Ibdonesia sering kali memberi kesan membodohi penonton, baik dari segi visi maupun dari dari segi pola penyajin visi tersebut. Akibatnya, jika tidak banyak memberi nasihat-nasihat, pastilah bertele-tele. Berbeda dengan detail, yang menunjukkan sinkkronisasi antara beberapa shoot. Bertele-tele  disini cenderung  diartikan sebagai ketidak mampuansineas memindahkan realitas imajiner. Hal ini bisa juga terjadi karena pada umumnya sinetron kita masih sangat sarat dengan muatan penerangan. Dan misi penerangan itu tidak boleh disampaikan lewat simbol-simbol artifisial. Oleh sebab itu, sekalipun sinerton kita sangat kita sanagat jelas pesan-pesan di daptiknya, kebanyakan kehilangan nuansa.
Menurut Sophan,mantan aktor yang kini ketua KFT (KaryawanFilm dan Televisi), saat ini masih begitu banyak restriksi yang harus dihadapi orang-orang film, sehingga mereka tidak tau lagi secara jelas apa yang boleh dan ayang tidak boleh dilakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar